Suatu yang
indah untukku telah hilang. Kadang aku berpikir lagi seakan aku tak percaya ini
telah terjadi kepadaku. Akulah yang sendiri disini merana meratapi nasib. Aku
terbuang, tersingkir, jauh dari mereka keluargaku yang memang sudah hancur.
Satu tahun
yang lalu aku memilih untuk pergi dari kehidupan mereka berharap mendapatkan
sesuatu yang lebih baik. Aku hanya menjadi beban mereka. Orang tuaku adalah
seorang pengusaha besar yang makmur, pendapatan kamipun perbulan setara dengan
gaji seorang gubernur Bank Indonesia.
Hingga suatu saat munculah para pesaing usaha ayahku sampai menghalalkan
segala cara agar usaha mereka sukses. Ujungnya mereka menggunakan cara licik
kepada ayahku, hingga kami sampai saat seperti ini, ayahku bangkrut. Hanya
tangis yang terukir diwajah ibu. Tak seorangpun dapat mengembalikan senyum indahnya. Mungkin hanya harta yang dapat
menghiburnya.
Keluarga kami
semakin hancur ketika ibuku sudah tak kuat lagi menanggung beban penderitaanya.
Ibu mencoba untuk mengais rezeki haram. Ayahku tak kuat melihat ibu kesana
kemari menggandeng pasangan yang bergonta-ganti. Dan akhirnya ayahku mengalami
gangguan jiwa menetap di Rumah Sakit Jiwa yang entah aku tak tahu tepatnya
dimana. Profesi yang dijalani ibuku semakin sukses nampaknya sampai beliau tak
sadar aku pergi meninggalkannya.
Awan hitam
kelam, pedang-pedang air yang menghujam tajam, dengan orang-orang yang
berpayung. Aku duduk di atas sebuah kardus di sebuah lingkungan kumuh di
Jakarta. Aku merasa lebih baik bila dibandingkan harus tinggal dirumah ibuku
dari hasil pendapatannya yang haram itu.
“Jane !!”
Seseorang membuyarkan lamunanku.
“Riko. Kau
menggangguku.”
“Hai maaf aku
mengganggumu. Si tomboy kok nglamun sih?”
“Emang nggak
boleh ya?
“Jelek tau
wajahmu itu. Hahaha.”
Riko pemuda
tampan, seseorang yang sangat dermawan. Dia punya segalanya. Keluarga bahagia,
rumah mewah, mobil mewah, semua tercukupi. Setiap sore ia menghabiskan waktunya
untuk bermain dengan anak-anak di bawah kolong jembatan. Entah apa yang memotivasinya
untuk melakukan kebiasaan seperti itu. Sejak awal aku masuk ke lingkungan ini,
ia terlebih dahulu telah jauh mengenal pemukiman kumuh ini.
Mungkin
hanya dia salah satu faktor yang membuat aku mau menetap di lingkungan kumuh
ini. Memandang wajahnya bagaikan sebuah minuman buah yang sangat menyegarkan,
makanan lezat yang siap disantap, pemandangan alam yang begitu mengagumkan.
Semuanya terpancar indah dari wajahnya. Tapi tingkahku kepadanya menunjukkan
seperti aku tak peduli kepadanya. Padahal dalam hati, aku seperti tak ingin
jauh darinya.
Dia
masih memandangku. Tak tahukah dia hatiku berdebar kencang setiap kali Riko
melihatku. Semakin lama tubuh ini semakin melayang, aku semakin tak sanggup.
Aku tak kuat.
“Riko
! Kamu apaan sih”Aku mengalihkan perhatiaannya.
“Wajahmu
cantik juga ya. Tapi sayang kotor banget. Kayak kain lap di warung-warung makan
itu lho! Hahaha”
Hanya
itu-itu saja yang dibicarakannya terhadapku. Bercanda, ngledek, ya semacam
itulah. Tak pernah ia menunjukkan bahwa ia mempunyai rasa yang khusus kepadaku.
Memang aku begitu berharap. Sangat berharap.
Keesokan
harinya, suara berisik terdengar dari segala penjuru. Entah apa yang mereka
bicarakan. Aku berdiri dari kardus tidurku. Berat mata ini untuk terbuka,
tetapi suara-suara itu seolah menarikku untuk bangun. Langkahku semakin
tergesa, tak sengaja aku menginjak amplop berhias. Sepintas terlihat seperti
sebuah undangan pernikahan. Pikiranku masih tertuju dengan suara-suara itu.
Hanya sepintas kupandang amplop itu lalu kuletakkan begitu saja di atas kardus
tidurku.
Diluar
aku melihat mereka menari-nari, berteriak gembira. Secepat kilat aku mendekati
segerombolan anak-anak yang ikut bersorak kegirangan.
“Hei
ada apa? Kenapa kalian berteriak-teriak seperti itu?” Tanyaku kepada mereka.
“Kakak
sebentar lagi menikah. Kami diundang. Wah makan-makan. Emang kakak sendiri
nggak diundang ya?” Jawab salah satu anak jalanan itu.
“Kakak?
Kakak siapa?” Tanyaku terheran-heran.
“Kak
Rikolah. Siapa lagi kakak kita kalau buakan kak Riko.”
Hatiku seperti baru saja terjatuh
dari tempatnya. Hancur pecah berkeping-keping menjadi ribuan pecahan. Jantungku
seperti dihujam ribuan sembilu tajam. Hati ini sakit. Tak sadar air mata ini
mengalir.
“Kak
Jane. Kakak baik-baik sajakan? Kakak menangis?”
“Aku
tahu pasti karena kakak nggak dapet undangan dari kak Riko kan? Kakak datang
aja ke pesta pernikahannya kak Riko.”
Aku menangis dan berlari pergi
meninggalkan mereka. Aku duduk menangis. Kulihat amplop yang baru saja aku
tinggalkan tadi diatas kardus tidurku. Dan benar saja. Itu adalah undangan
pernikahan Riko. Air mata ini semakin deras mengalir. Apakah dia tak tahu bahwa
aku begitu mencintainya? Semuanya hitam kelam, tiba-tiba mataku tertutup
perlahan.
Semua
mata tertuju kepadaku. Anak-anak memandang aneh terhadapku. Aku melihat Riko.
Ya Riko. Dia memangkuku.
“Bukankah
seharusnya kau menikah hari ini?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Menikah?
Siapa yang akan menikah?” Riko menatapku heran.
Dan benar saja. Selama ini aku
hanya bermimpi. Mimpi?
0 comments :
Posting Komentar