Jumat, 31 Agustus 2012

Hanya Sebuah Mimpi?



Suatu yang indah untukku telah hilang. Kadang aku berpikir lagi seakan aku tak percaya ini telah terjadi kepadaku. Akulah yang sendiri disini merana meratapi nasib. Aku terbuang, tersingkir, jauh dari mereka keluargaku yang memang sudah hancur.
Satu tahun yang lalu aku memilih untuk pergi dari kehidupan mereka berharap mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Aku hanya menjadi beban mereka. Orang tuaku adalah seorang pengusaha besar yang makmur, pendapatan kamipun perbulan setara dengan gaji seorang gubernur Bank Indonesia.  Hingga suatu saat munculah para pesaing usaha ayahku sampai menghalalkan segala cara agar usaha mereka sukses. Ujungnya mereka menggunakan cara licik kepada ayahku, hingga kami sampai saat seperti ini, ayahku bangkrut. Hanya tangis yang terukir diwajah ibu. Tak seorangpun dapat mengembalikan senyum  indahnya. Mungkin hanya harta yang dapat menghiburnya.
Keluarga kami semakin hancur ketika ibuku sudah tak kuat lagi menanggung beban penderitaanya. Ibu mencoba untuk mengais rezeki haram. Ayahku tak kuat melihat ibu kesana kemari menggandeng pasangan yang bergonta-ganti. Dan akhirnya ayahku mengalami gangguan jiwa menetap di Rumah Sakit Jiwa yang entah aku tak tahu tepatnya dimana. Profesi yang dijalani ibuku semakin sukses nampaknya sampai beliau tak sadar aku pergi meninggalkannya.
Awan hitam kelam, pedang-pedang air yang menghujam tajam, dengan orang-orang yang berpayung. Aku duduk di atas sebuah kardus di sebuah lingkungan kumuh di Jakarta. Aku merasa lebih baik bila dibandingkan harus tinggal dirumah ibuku dari hasil pendapatannya yang haram itu.
“Jane !!” Seseorang membuyarkan lamunanku.
“Riko. Kau menggangguku.”
“Hai maaf aku mengganggumu. Si tomboy kok nglamun sih?”
“Emang nggak boleh ya?
“Jelek tau wajahmu itu. Hahaha.”
Riko pemuda tampan, seseorang yang sangat dermawan. Dia punya segalanya. Keluarga bahagia, rumah mewah, mobil mewah, semua tercukupi. Setiap sore ia menghabiskan waktunya untuk bermain dengan anak-anak di bawah kolong jembatan. Entah apa yang memotivasinya untuk melakukan kebiasaan seperti itu. Sejak awal aku masuk ke lingkungan ini, ia terlebih dahulu telah jauh mengenal pemukiman kumuh ini.
                Mungkin hanya dia salah satu faktor yang membuat aku mau menetap di lingkungan kumuh ini. Memandang wajahnya bagaikan sebuah minuman buah yang sangat menyegarkan, makanan lezat yang siap disantap, pemandangan alam yang begitu mengagumkan. Semuanya terpancar indah dari wajahnya. Tapi tingkahku kepadanya menunjukkan seperti aku tak peduli kepadanya. Padahal dalam hati, aku seperti tak ingin jauh darinya.
                Dia masih memandangku. Tak tahukah dia hatiku berdebar kencang setiap kali Riko melihatku. Semakin lama tubuh ini semakin melayang, aku semakin tak sanggup. Aku tak kuat.
                “Riko ! Kamu apaan sih”Aku mengalihkan perhatiaannya.
                “Wajahmu cantik juga ya. Tapi sayang kotor banget. Kayak kain lap di warung-warung makan itu lho! Hahaha”
                Hanya itu-itu saja yang dibicarakannya terhadapku. Bercanda, ngledek, ya semacam itulah. Tak pernah ia menunjukkan bahwa ia mempunyai rasa yang khusus kepadaku. Memang aku begitu berharap. Sangat berharap.
                Keesokan harinya, suara berisik terdengar dari segala penjuru. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku berdiri dari kardus tidurku. Berat mata ini untuk terbuka, tetapi suara-suara itu seolah menarikku untuk bangun. Langkahku semakin tergesa, tak sengaja aku menginjak amplop berhias. Sepintas terlihat seperti sebuah undangan pernikahan. Pikiranku masih tertuju dengan suara-suara itu. Hanya sepintas kupandang amplop itu lalu kuletakkan begitu saja di atas kardus tidurku.
                Diluar aku melihat mereka menari-nari, berteriak gembira. Secepat kilat aku mendekati segerombolan anak-anak yang ikut bersorak kegirangan.
                “Hei ada apa? Kenapa kalian berteriak-teriak seperti itu?” Tanyaku kepada mereka.
                “Kakak sebentar lagi menikah. Kami diundang. Wah makan-makan. Emang kakak sendiri nggak diundang ya?” Jawab salah satu anak jalanan itu.
                “Kakak? Kakak siapa?” Tanyaku terheran-heran.
                “Kak Rikolah. Siapa lagi kakak kita kalau buakan kak Riko.”
Hatiku seperti baru saja terjatuh dari tempatnya. Hancur pecah berkeping-keping menjadi ribuan pecahan. Jantungku seperti dihujam ribuan sembilu tajam. Hati ini sakit. Tak sadar air mata ini mengalir.
                “Kak Jane. Kakak baik-baik sajakan? Kakak menangis?”
                “Aku tahu pasti karena kakak nggak dapet undangan dari kak Riko kan? Kakak datang aja ke pesta pernikahannya kak Riko.”
Aku menangis dan berlari pergi meninggalkan mereka. Aku duduk menangis. Kulihat amplop yang baru saja aku tinggalkan tadi diatas kardus tidurku. Dan benar saja. Itu adalah undangan pernikahan Riko. Air mata ini semakin deras mengalir. Apakah dia tak tahu bahwa aku begitu mencintainya? Semuanya hitam kelam, tiba-tiba mataku tertutup perlahan.
                Semua mata tertuju kepadaku. Anak-anak memandang aneh terhadapku. Aku melihat Riko. Ya Riko. Dia memangkuku.
                “Bukankah seharusnya kau menikah hari ini?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.
                “Menikah? Siapa yang akan menikah?” Riko menatapku heran.
Dan benar saja. Selama ini aku hanya bermimpi. Mimpi? 

0 comments :

Posting Komentar